Sabtu, 16 Mei 2009

Menjemput Rezeki



Mulanya sore itu saya tak sengaja mengahampiri dirinya. Itu pun karena saya dapat perintah dari kakak perempuan saya yang sedang sakit untuk minta dibelikan bubur ayam langganan saya itu. Sebenarnya saya ingin menolaknya! Dikarenakan saat itu saya lagi ada keperluan mendadak. Akhirnya (dengan) terpaksa keperluan saya itu pun saya tunda. Dari pada nanti sakit kakak perempuan saya itu tambah parah. Terpaksa saya sesegera mungkin membeli bubur ayam langganan saya itu. Ya, biasanya bubur ayam langganan saya setiap sore, ba’da ashar itu sudah mangkal di lapangan volley.

Mas Rizal namanya. Ia adalah penjual bubur ayam langganan saya tiap sore tiba. Entah kenapa tiap sore tiba saya selalu ingin mencoba bubur ayam Mas Rizal itu? Saya sendiri juga tak tahu. Itu pun jika uang disaku celana saya “stabil” dan lagi punya rezeki lebih. Pasti saya saya selalu membelinya! Bahkan jika saya sedang lapar luar biasa, bisa-bisa sampai menambah porsi. Bisa-bisa saya menambah dua piring mangkuk sekaligus jika saya masih lapar. Habis MAKNYUSSS sih!

Disayangkan sore itu saya tak lama-lama membelinya. Apalagi untuk seperti biasanya. Jika saya sudah berjumpa dengan Mas Rizal pasti saya bercakap-cakap lebih dahulu. Entah itu membicarakan tentang sembako yang sedang naiklah, kampung halamannyalah, masalah keadaan negara inilah bahkan sampai sampai menjurus masalah curhatan segala. Tapi saya tak menolak itu semua! Bagi saya terpenting jauh dari ghabah pasti saya akan sudi bercakap-cakan dengannya lebih lama lagi. Lain hal dengan sore itu saya tak bisa lama-lama bercakap-cakap dengannya. Lantaran sore itu cuaca tak lagi mau bersahabat dengan saya maupun dengan Mas Rizal yang sedang berjualan bubur ayam. Sejak siang langit terus mendung. Tanda akan turun hujan. Padahal sore itu saya ingin sekali bercakap-cakap dengannya. Namun apa daya keadaan menentukan lain.

Memang sejak Ramadhan tiba saya tak jumpa lagi dengannya. Dikarenakan ia pulang ke halaman kampungnya. Alias, mudik. Namun baru sore itu saya dapat disempatkan bertemu kembali oleh Yang Maha Kuasa untuk bisa berjumpa kembali dengan sesama saudara seiman saya. Yakni, Mas Rizal, si penjual bubur ayam!

Akhirnya sore itu saya tak meninggalkan kesempatan itu. Berbincang-bincang dengannya walau hanya sesaat. Padahal saat itu cuaca benar-benar tak mau kompromi dengan saya lagi. Tanda akan turun hujan makin jelas. Saya pun langsung menanyakan segalanya kepadanya? Dari menanyakan kabarnyalah? Lagi musim apa di kampungnyalah? Ramai tidak Lebaran dikampungnyalah? Sampai-sampai menanyakan kabar isterinya pula? Namun belum sampai ia menjawab pertanyaan dari saya semua, saya langsung tergoda dan tertuju dengan gerobak dorong bubur ayamnya yang sudah apik dan menarik dari sebelumnya. Apalagi ketika ekor mata saya melihat dan tertuju pada sebuah tulisan di kaca gerobak dorong bubur ayamnya yang begitu mengharu biru.

“Ini, Mas Rizal yang buat, ya?” tanya saya sambil memeperhatikan tulisan yang tertulis di kaca gerobak dorong bubur ayamnya yang diwarnai dengan cat yang begitu matching. Bukan itu saja tulisan itu pun mengandung filosofi serta tersirat makna yang dalam. MENJEMPUT REJEKI. Begitu yang saya lihat ketika tulisan itu tertera di kaca gerobak dorong bubur ayam Mas Rizal itu. Begitu mengharukan!

“Iya!” jawabnya lantang.

“Keren juga., Mas!” seru saya memuji tulisannya itu.

Tapi memang benar tulisan yang ia buat itu sangat bagus. Dan saya pun tidak mengada-ada. Apalagi memuji dengan kebohongan.

“Lha, kan sesuai dengan saya kerjakan sekarang. Lagi sedang menjemput rejeki. Berjualan bubur ayam!” jawabnya lagi sambil membuat pesanan saya.

Saya pun berdiam sejenak.

Memikirkan apa yang dikatakan olehnya barusan.

“Benar juga yang dikatakan Mas Rizal, ” gumam saya dalam hati. Memahami tentang apa yang barusan ia katakan kepada saya. Saya pun akhirmya menyadari hal itu. Ternyata rezeki walau pun sudah ada yang mengatur tetapi sebagai umatNya patut harus menjemput rejeki itu. Menyamparinya. Berikhtiar. Berusaha. Tidak hanya dengan berdoa saja tanpa ada action (aksi) yang memadai. Bagimana cara mendapatkan rejeki itu yang sudah Tuhan atur? Masa sih hanya berdoa saja tanpa ada kerja keras. Berusaha untuk mencapainya. Lagi pula mana mungkin rejeki bisa jalan sendiri. Atau, bisa “jatuh” secara tiba-tiba tanpa dijemput. Sepertinya mustahilkan itu bisa terwujud.

“Benar juga ya apa Mas Rizal bilang, ” ucap saya sambil tersenyum melihat antusiasnya ia mengatakanya kepada saya.

Memang sih rezeki Tuhan yang mengaturnya sesuai dengan ketentuanNya. Walau pun sampai dikejar sampai ke ujung gunung kalau rejekinya hanya sampai segitu saja ya apa boleh dikata? Hanya Dia-lah Yang Tahu Segala-galanya. Masa sih harus mengeluh juga padahal rezeki sudah DIA yang mengatur? Dan juga sebagai umatNya haruslah patut menjemput rejekiNya itu. Jangan hanya minta dikabulkan saja tapi usaha tidak ada. Ya, itu sih sama saja bohong! Seperti pepatah mengatakan: Mengharapkan Rejeki (uang) Jatuh dari Langit. Entah langit yang mana saya sendiri juga kurang tahu? Memang rejeki manusia yang mengatur? Mustahilkan…?

Untuk konkritnya ambil saja contohnya tidak jauh-jauh. Yakni, Mas Rizal si penjual bubur ayam langganan saya tiap sore tiba. Ia menjemput rejekiNya sendiri. Walau ia sendiri sudah tahu bahwa Yang Maha Kuasa sudah mentakdirkan rejekinya hanya sampai di situ. Tapi Mas Rizal masih tetap berusaha. Menjual bubur ayamnya. Coba kalau ia tidak usaha. Tidak berikhtiar. Tidak berjualan bubur ayam misalkan? Mana mungkin ia akan mendapatkan rejekinya itu. Halnya sesuai dengan apa yang ia tulis di kaca gerobak dorong bubur ayamnya yang bertuliskan: MENJEMPUT REJEKI. Tanpa usaha berjualan bubur ayam ia tak akan mungkin mendapatkan rezekinya itu. Menjemput rezeki seperti apa yang ia tulis di kaca gerobak dorong bubur ayam! (Kampung Rawa, Keb-Lama, 06 November 2007).

Sumber :
Fiyan Arjun
http://www.eramuslim.com/oase-iman/menjemput-rezeki.htm
14 Mei 2009

Sumber Gambar :
http://farm3.static.flickr.com/2140/2351201837_f28eee1b71.jpg?v=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar